Selasa, 19 Agustus 2014

Antologi Puisi "Pada Negeri Aku Berpuisi"








Pada Negeri Aku Berpuisi
By Sahabat GP, 2014

Editor : Fransiska Rina Milansi
Setting dan Layout : Goresan Pena Publishing
Desain Sampul : Fransiska Rina Milansi
ISBN : 978-602-1238-67-7

Cet. I, Agustus 2014
viii + 141 hlm. ; 14 x 21 cm

Diterbitkan Oleh :
Goresan Pena
Jl. Jami no. 230 Sindangjawa – Kadugede - Kuningan – Jawa Barat 45561


harga : Rp. 35.000 (Penulis : Rp. 31.500)

Sabtu, 02 Agustus 2014

Gandrung Sastra # 7 "Pancasila"



Teater Bentuk Kritik Sosial Pudarnya Nilai Pancasila
Pati- sejumlah penggiat Seni di Kabupaten Pati menggelar pertunjukan teater dengan mengambil tema Pancasila, belum lama ini. Gelaran seni peran di latar belakangi keprihatinan sekaligus sebagai upaya mengkritisi situasi negara yang tidak menentu.
Selain itu semakin surutnya pemahaman dan perilaku “Pancasila” pada masyarakat Indonesia. Banyak orang yang sudah tidak hafal lagi urutan bunyi sila-sila Pancasila. Apalagi menjalankan amalan setiap silanya dalam tataran praktiknya. Lambang Burung Garuda sebagai simbol Kebanggaaan Negara Indonesia hanya sebagai penghuni gudang.
Masyarakat seakan tak lagi bangga memasang lambang Burung Garuda sebagai bentuk patriotisme di dalam ruang tamu rumah mereka. Paling banter saat ini burung garuda hanya bisa dijumpai di kantor-kantor instansi pemerintah itu saja hanya sebagai atribut kelengkapan semata.
Itulah sekilas gambaran mengapa sejumlah seniman Kabupaten Pati menggagas teater yang mengambil judul Pancasila. Bertempat di pelataran STAIMAFA Pati, sejumlah penggiat teater Bumi Mina Tani mementaskan pertunjukan sebagai gambaran kritik sosial kepada pemerintah.
Tak hanya pertunjukan teater, namun performance art lainnya juga ikut dipertunjukan seperti pembacaan puisi dan pertunjukan musik akustik. Puji pistol salah seoarang penggiat seni mengaku prihatin dengan keadaan bangsa seperti sekarang ini. “Pancasila” sebagai cermin kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini hanya sebagai simbol semata penerapan sila sila dalam tubuh Pancasila seakan memudar”, paparnya.
Dengan menggelar aksi pagelaran seni kritik sosial seperti ini, puji mengharapkan bisa menggugah kalangan muda-mudi agar bisa memahami dan mau menerapkan sesuai amalan sila-sila yang terkandung pada Pancasila dalam menerapkan hidup di masyarakat (yan)

Minggu, 13 Juli 2014

Sebuah Buku yang sangat Berarti...

Buku Kumpulan Puisi Pribadi (2005)Bangkai Burung Bangkai ;salinan dari beberapa puisi yang tercatat di lembaran buku dan catatan pribadi, lembaran soal ujian dll. berawal dari buku ini menyebar ke Antalogi bersama lainnya.

Kamis, 10 Juli 2014

MAJALAH AMANAT : GANDRUNG SASTRA, NAFAS SASTRA MARGOYOSO


MUSIK & PENGUASA Sebuah Catatan : Kontroversi dari Indonesia Raya, Genjer-genjer Hingga Takdir By Aloeth Pathi






Musik adalah dahaga jiwa menurut Khalil Gibran. Nada-nada yang mengalun disamping syair-syairnya mengingat kenangan masa silam tentang kesedihan atau keindahan, keriangan masa lalu. Musik bisa membawa nuansa perenungan (kontemplatif). Perkembangan musik Indonesia telah mengalami pasang-surut. Musik Tradisional, Melayu, Pop, Dangdut, Rock, Keroncong, jazz dan genre lainnya. Musik juga mengalami proses penerimaan atau ditolak di masyarakat (Like and dislike). Sehingga memunculkan banyak pandangan mengenai musik golongan orang tua - golongan muda.[1] Musik merakyat dan tidak merakyat. Pendukung program-program pemerintah atau lagu agitatoris yang melakukan perlawanan terhadap penguasa. Musik mampu membakar semangat untuk beraktifitas dan berkarya. Musik juga bisa melemahkan semangat untuk bersikap apatis, lemah, cengeng. Atau musik itu pun berlalu begitu saja, tak membekas apa pun di benak pendengarnya.

Pada Era Pra kemerdekaan Musik Indonesia, syair-syairnya memiliki tema yang membawa semangat Heroik, Romantisme Perjuangan, kecintaan pada negeri (Nasionalisme). Pada Konggres Pemuda ke II tgl 28 Oktober 1928 WR. Supratman memainkan biola membawakan lagu “Indonesia Raya”. lagu itu diterima semua peserta konggres dan dijadikan sebagai lagu pergerakan. Lagu tersebut mengalami proses penyempurnaan syairnya pada tahun 1944, ketika dibentuk Panitia 12 membahas lagu kebangsaan yang diketuai Ir. Sukarno karena penciptanya meninggal lebih dahulu. Salah satunya penggantian kata mulia-mulia di ganti dengan kata merdeka-merdeka. Lagu ini menjadi kebanggaan serta identitas sebuah negeri yang harus dibela hingga jiwa raga bangsa Indonesia. Semangat yang dikobarkan dari Lagu ini juga mengantarkan bangsa Indonesia menuju pintu kemerdekaan dan diakui keberadaannya di dunia internasional.[2]

Lagu berirama Bravura atau yang bernuansa lembut patriotik. Lagu-lagu tema perjuangan selama revolusi sangat besar sekali dalam mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Lagu-lagu tersebut memberi kekuatan/sugesti para pejuang untuk mengorbankan perlawanan terhadap penjajahan. Dengan bergeloranya gerakan-gerakan kemerdekaan makin jelas cita-cita untuk menuju suatu corak kebangsaan dalam seni Musik Indonesia. Lagu “Indonesia Merdeka” karya C. Simanjutak pernah didengarkan oleh pemuda-pemuda Indonesia di Praha karena dapat membangkitkan semangat persatuan dan perjuangan. Sedangkan lagu “Halo-halo Bandung” karya Ismail Marzuki sangat mengobarkan perjuangan pemuda-pemuda Bandung untuk melawan Pasukan NICA (Netherlans Indies Civil Adminitrastion). Dalam revolusi para seniman mendapat ilham dari peristiwa-peristiwa yang terjadi tetapi juga sebaliknya lagu-lagu tersebut dapat menciptakan peristiwa-peristiwa besar dan menciptakan mental gagah berani. Lagu-lagu perjuangan seperti “ Maju Tak Gentar”, “Bagimu Negeri” pernah dipakai para aktivis dan mahasiswa dalam mengobarkan aksi - aksi demontrasi menentang penyelewengan kebijakan pemerintah. Demikian juga lagu mampu membuat haru biru perjuangan seperti lagu “ Syukur”, “gugur bunga”.[3]

Kekuatan syair musik mampu membuat pemerintah/penguasa keder, Pemerintah Jepang dengan Sendebui (Badan Propaganda Jepang) juga bereaksi keras terhadap lagu “Bisikan Tanah Air” dan “Indonesia Tanah Pusaka” karya Ismail Marzuki yang dianggap menimbulkan pergerakan Rakyat melawan Jepang di daerah-daerah. Sehingga ia dipanggil Konpetai (Polisi Militer Jepang). Pada Agresi Belanda I (class I ) Belanda melarang Lagu “Di Timur Matahari” karya Ibu Sud yang dianggap pro Jepang.[4] Pada saat itu banyak seniman-seniman musik yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho.

Di Jaman Sukarno musik harus sesuai dengan kepribadian Bangsa. Konsepsi Bung Karno mendapat dukungan dari seniman-seniman yang tergabung dalam lembaga kebudayaan seperti Lekra, Lesbi, LKN. Untuk membentuk kepribadian bangsa Indonesia Presiden mengeluarkan pokok-pokok MANIPOL USDEK.[5] Musik barat dianggap sudah tidak sesuai kepribadian bangsa. pemerintah melarang mendengarkan musik barat seperti Beatles, Elvis Presley. Sehingga laju perkembangan musik barat harus dihambat. Koes Bersaudara menjadi penghuni prodeo karena membawakan lagu-lagu Ngak-ngik-ngok. Mereka dituduh melanggar Penpres no. 11 tahun 1963. peraturan tersebut membelenggu proses kebebasan berkreasi.

Ketika era Orde Baru proses kebebasan bermusik masih tersendat-tersendat. Tema Lagu-lagu harus mendukung kebijakan pemerintah. Hal ini mengingat Bangsa Indonesia memasuki trace baru ( Pasca PKI dibubarkan). Banyak penyanyi tergabung dalam Artis Safari (Artis Golkar) pimpinan Edi Sud. Para artis tersebut selalu menyertai pejabat-pejabat dalam kunjungan ke daerah-daerah. Kepribadian Bangsa masih menjadi soko utama dalam proses berkreasi seniman. Pemerintah melarang syair2 musik yang pernah dibawakan LEKRA seperti “Ganyang Setan Tiga Kota” karya Subronto K. Atmojo (1965) “Genjer-genjer” karya M Arif.[6] Pemerintah Orde Baru menjadikan lagu tersebut seperti lagu yang menakutkan dan mengingatkan pada kekejaman PKI. Setiap tgl 30 September TVRI menayangkan Film G 30 S/ PKI. Yang menampilkan para Pemuda Rakyat dan Gerwani menari-nari, serta menyanyi “Genjer-Genjer” di Lubang Buaya dalam melaksanakan tugasnya, membunuh para Jendral. Namun tidak semua karya Lekra dibrangus dan tidak boleh berkumandang di persada pertiwi seperti lagu “Garuda Pancasila” karya Sudharnoto masih terus digunakan sampai sekarang meski penciptanya terlibat Lekra.[7]

Pemerintah dengan program Repelita masih menerapkan musik yang berkepribadian dengan menggali potensi budaya sendiri. Tindakan represif yang pernah dilakukan Orla juga diterapkan pada Jaman Orba, tindakan ini ditujukan Terhadap kaum muda Peniruan (imitatif) Trend mode pakaian cut brey, rambut gondrong, serta aksesoris-aksesoris yang dipakai bintang idolanya. Tindakan pemerintah yang “over acting” tersebut terjadi di mana-mana terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan. Puncaknya tindakan tersebut terjadi di Bandung dengan terbunuhnya mahasiswa ITB Rene Louis Coenrad oleh taruna kepolisian.

Perijinan, konser-konser musik di tanah air masih extra hati-hati. Pelarangan Musik Ngak-ngik-ngok pada jaman Orba juga masih berlangsung. Pada tahun 1978 Menteri P & K menganggap musik tersebut sebagai musik tikus. Selain itu konser-konser yang melanggar kaidah ketimuran dipersulit perijinannya. Seperti Group AKA band yang selalu menggunakan tata panggung yang mengerikan. Zombie, tiang gantungan, nisan, gerakan bersenggama, Bahkan Ucok Harahap menyeret peti mati ditengah panggung, menggelantung bagai kelelawar, mencorat-coret mukanya (seperti KISS Band). Semua itu dianggap jauh dari adat ketimuran oleh pemerintah.







Pencekalan pagelaran musik juga terjadi di era 80-an. Oleh pemeritahan daerah maupun pusat. Karena pengaruh barat terutama mode, trend, gaya hidup terhadap generasi muda. Ketakutan pemerintah terutama pengaruh alkohol, free sex, hippies yang dianut dari pemusik-pemusik barat. Di samping itu pagelaran musik yang dianggap mampu merongrong kewibawaan pemerintah dipersulit perijinannya seperti konser Iwan Fals yang lagunya sarat akan kritik terhadap pemerintah. Konser Iwan dengan Katanta Taqwa di Stadion Senayan (sekarang stadion Gelora Bung Karno) dianggap konser yang paling rusuh pada saat itu. meski dalam perkembangan berikutnya konser group band seperti Slank, Sheila on 7, Ungu yang juga banyak memakan korban jiwa. Rhoma Irama mengalami nasib yang sama ketika ia dicekal di TVRI karena ia tak mau bergabung dengan kelompok Artis Safari, Rhoma lebih memilih menjadi anggota salah satu partai non pemerintah. Disamping itu salah satu album Rhoma berisi kritikan terhadap pemerintah.

Tak kalah uniknya ketika nasib sial yang dialami Betharia Sonata ketika menyanyikan lagu “Hati Yang Luka” Karya Obbie Mesakh. Lagu tema kesedihan, ratapan, keluhan ini yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Albumnya laris hingga mencapai 2 juta copy. Kepopuleran lagu ini menimbulkan reaksi hebat dari pengamat musik maupun pihak pemerintah, sebagai karya musik cengeng. Menteri Penerangan Harmoko menghimbau TVRI dan Radio untuk tidak menayangkan lagu cengeng, dengan alasan melemahkan semangat generasi muda yang sedang giat-giatnya membangun menuju era tinggal landas. Sikap pemerintah terhadap pelarangan lagu cengeng setengah hati. Di satu sisi lagu bertema kesedihan adalah lagu cengeng (meracuni generasi dengan suatu kesedihan dan penyesalan) sedangkan disisi lain masyarakat sangat suka akan lagu-lagu bertema cengeng tersebut.

Dipenghujung tahun 90-an Desy Ratnasari juga tersandung pelarangan. Kali ini dari pihak ketua MUI, Prof. Dr. Ali Yafie yang menganggap lagu “Takdir” karya Chossy pratama melecehkan agama Islam. Lirik lagu yang dianggap melecehkan “Takdir memang kejam/ tak mengenal perasaan”. Menurut Ali Yafie syair tersebut harus diluruskan. Pada tahun 1982 pemerintah melarang Lilis Suryani menyanyikan lagu “Cai Kopi” karya Mus. K Wirya yang dianggap melukai kaum muslim karena meniru syair Islam. Namun kasus ini tidak mencuat seheboh Desy Ratnasari. Karena pemberitaan entertaiment di media cetak dan elektronik pada saat itu belum marak. Setelah Desy dan Chossy minta maaf kepada masyarakat dan segera merevisi syair tersebut, yang juga merupakan theme song sinetron “Takdir”. Persoalan lagu tersebut dianggap selesai. Sebelumnya pihak pemerintah mencekal album Atiek CB dan memerintahkan produsernya untuk menarik kembali album Atiek CB, karena covernya mengundang kontroversi, ada simbol “Palu-Arit”.

Musik juga menciptakan fanatisme sehingga melahirkan kelompok, komunitas seperti yang pernah terjadi di Eropa pada tahun 60-an. Mereka disebut “Generation Flowers”. kemudian melahirkan kelompok2 anti kemapanan. Melahirkan mode, trend musik dan menciptakan genre musik. Di Indonesia budaya imitatif terhadap budaya tersebut sudah jaman Orla namun baru terdiri individu-individu belum menjadi sebuah kelompok. Baru era 90-an akhir hingga sekarang kelompok itu terbentuk di mana-mana terutama di kota- kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogya, Medan dan kota-kota lainnya. Bahkan sekarang masuk di kota-kota kabupaten. Mereka menamakan dirinya kelompok-kelompok marginal. Kemunculan Punk, Underground, Skinhead, Reggea (Bob Marley Maniac) disertai mode fashion, rambut dan aksesoris-aksesoris yang menyertainya. Juga ada kelompok yang terdiri dari fans-fans band terkenal negeri ini seperti Slanker- Slank, Baladewa-Dewa 19, Oi- Iwan fals, Sobat-Padi dsb.

Lagu-lagu mampu membangunkan hati, membangkitkan semangat, keriangan, juga mampu membuat haru terkadang sampai menyayat hati. Sikap pemerintah era Reformasi bersikap toleran terhadap perkembangan musik Indonesia dengan segala pernik-perniknya. Bahkan para pemimpin mulai bersenandung seperti Wiranto, Gus Dur. Bahkan ketika pada Pemilu tahun 2004 para kadidat presiden unjuk kebolehan dalam tarik suara. Hal ini merupakan angin segar bagi perkembangan musik Indonesia. Lagu menjadi kian akrab ditelinga kita berbagai jenis aliran musik. Baik dari desa sampai kota, golongan atas-golongan bawah, rakyat, pekerja, pengusaha, penguasa. Presiden pun bernyanyi ketika negeri ini dilanda musibah nasional

“ kita mesti telanjang

dan benar-benar bersih

suci lahir dan di dalam batin”

*Aloeth

Lingkar Studi Waroeng Kopie

[1] Kalangan orang tua ada yang menganggap bahwa penyanyi/biduan dianggap sebagai aib, sehingga itu dianggap pekerjaan yang tidak baik /nista. Sebagian ulama juga ada yang mengganggap bahwa musik itu haram.

[2] Pada jaman Orde Baru Elyas Pical (petinju), Susi Santi, Alan Budi Kusumo serta atlit bulu tangkis berikutnya, pernah menyanyikan lagu “Indonesia Raya” setelah memenangkan beberapa pertandingan di event-event internasional. Mereka menyanyikan lagu tersebut dengan sepenuh jiwa raga hingga air mata menetes karena haru. Mungkin ini juga dirasakan seluruh Bangsa Indonesia yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut sebagai suatu kebanggaan.

[3] Lagu “gugur Bunga” dinyanyikan disaat mengantar kepergian 10 jendral (pahlawan Revolusi) , Arif Rahman Hakim dan mahasiswa angkatan 66 maupun mahasiswa-mahasiswa yang telah gugur pada Peristiwa Mei 98.

[4] Lagu ini di era Reformasi sering dinyanyikan Amien Rais dalam meresmikan PAN selain lagu “Ibu Pertiwi” yang sering dinyanyikan ketika ia menghadiri di pertemuan di kota maupun dipelosok pedesaan.

[5] Manifesto Politik merupakan Pidato Presiden tgl 17 Agustus 1959. kemudian dikuatkan dengan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1964 “ Tahun Vivere Pericoloso” (Tavip) yaitu melawan budaya barat dan memenangkan revolusi.

[6] Lagu ini merupakan lagu rakyat yang popular dan mempunyai kekuatan magis di Banyuwangi karya M. Arif anggota DPRD fraksi PKI.

[7] Menurut Henry Setyawan dalam bukunya “di Buru di Pulau Buru”





Selasa, 08 Juli 2014

DARAH JUANG Widji Dimana Dikau ? Pulanglah !! By. Aloeth Pathi



Seorang lelaki berbicara cadel mengeja warna merah dalam bait-bait sajak, meleburkan nafasmu bersatu dalam peluh keringat, badan kurus kerempeng terpanggang matahari, diatas mimbar bangku-bangku perjuangan, lantang suaramu kau benturkan pada tembok-tembok kuasa. kau sebarkan benih, kelak menuai bunga yang mampu meruntuhkan dinding keangkuhan. Mencoba uraikan gambaran hidup dari pemahaman kaku. Meluluhkan pilar-pilar tirani dengan ketulusanmu. Kau angkat tangan kirimu ke atas sebagai simbol perlawanan.

Seiring gema doa yang diantar fajar menapak pagi dari anak-anakmu, yang menunggumu di beranda sembari dengarkan dongeng nenek tentang kecerdikan kancil yang lolos dari mulut buaya, satu keinginan yang belum terpenuhi coba diwujudkan pada cita-cita sederhana Pulanglah !!!. Lengkingan suara bagai buluh perindu, memanggil di kaki gunung, di pelosok pedesaan, disudut-sudut kota, diantara lumpur petani, dikerumunan buruh, menanti hadirmu kembali ditengah poster-poster mengacung.

Sebelas tahun kau tak pulang bagai ditelan bumi atau sengaja dikebumikan. karena kata-katamu kah? mereka menjadi penakut hingga kau terlenyap dan tak tahu dimana rimbamu. Badan kurusmu ternyata lebih lelaki dibanding mereka yang kekar terlatih tapi bernyali banci. Andai kau tlah berpulang, dimanakah pembaringanmu ?

Selembaran koran, selembaran jaman kita buka, ternyata bukan kau saja yang memenuhi rubrik tragedi. Seorang perempuan buruh pabrik mati, tubuhnya terbujur kaku karena slogan-slogan menuntut keadilan, seorang wartawan mati karena ketajaman penanya. Seorang partisi hukum mati coba menguak kebenaran, beberapa mahasiswa mati karena belajar dijalanan dengan orasi-orasi, memekakkan telinga penguasa. Kenapa Bunda pertiwi ? Bukankah mereka semua juga anak-anakmu, anak yang terlahir dari rahim yang sama?

Beberapa kasus, Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi dan kasus-kasus lainnya masih menumpuk di meja, tak mampu terselesaikan. Menggunung, menutupi wajah peradilan negeri. Seorang pemuda berkata “Kami butuh Baharudin Loppa?” “Loppa telah Meninggal” Jawab Temannya. “Kami butuh Udin, Marsinah,......?” “Mereka telah mati kawan!”, “Widji Dimana Dikau?” “coba tanya sama Munir ?” timpalnya. “Kami butuh Munir ?”, “Tapi Munir telah berpulang!”, “Widji Dimana Dikau, pulanglah !!?”. mereka kebingungan dicari dikolong-kolong negeri, di laci-laci dunia tak ditemukan. Mereka kelelahan dan tertunduk lesu dipersimpangan jalan. “Padamu bunda pertiwi kami mengadu ?”

Bulan keemasan diatas punggung bukit bagai bola mata memerah. Saksikan sekelompok anak bermain “Jamuran” di teras rumah. Masih terngiang puisi Widji Thukul, Bunga dan Tembok dari corong speaker, memompa semangat, bergelora para buruh.

Seumpama bunga

Kami adalah bunga yang

Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga

Engkau adalah tembok

Tapi ditubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji

Suatu saat kami akan tumbuh bersama

Dengan keyakinan : engkau harus hancur!

Suara gemuruh bersautan ditengah para demonstran, jeritan memilu, atau tangis anak tukang becak, tukang sayur, di barak-barak pengungsian. Spanduk-spanduk membentang dijalanan, “Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan”, “Rakyat butuh bukti bukan janji !!!”. Di sudut timur langit diantara mega-mega putih terlihat senyum Marsinah, Munir, Widji Thukul, Udin, dan beberapa orang yang hilang, mereka mengulurkan kedua tangannya. Ingin merengkuh pada dekapan, “Teruskan Perjuangan kami, Jangan berhenti ditengah jalan !!”

Sekelompok pemuda dari berbagai elemen, berkumpul di bundaran, disimpang jalan, di gank-gank kota. Sembari mengepalkan tangan ke udara, samar-samar terdengar Lagu “Darah Juang”

Di negeri permai ini

Berjuta rakyat bersimbah luka

Anak kurus tak sekolah

Bunda desa tak kerja

Mereka dirampas Haknya

Tergusur dan lapar


Bunda relakan darah juang kami


Padamu kami berjanji


*Aloeth Pathi

Rabu, 02 Juli 2014

Pentas Teater Lintang Utara

Teater Lintang Utara lahir dari Rahim Gandrung Sastra...........


Perform di Jakenan bersama : Arif  Khilwa, Teater Teasa, Goang Doang, Aloeth Pathi  dengan membawa "Der Lezte"





Perform di Kayen pada hari Bumi 22 April 2013, Bersama Arif Khilwa, Niken Kinanti, Jono, Aloeth Pathi.


Perform di Juana pada Gosek Tontonan #5 bersama Goang Doang, Arif Khilwa, Jono, dan kawan-kawan Teater Teasa membawa  mini drama "Obituary Sebuah Negeri".
 Perform Arif Khilwa pada acara Harlah STAIMAFA diiringi Jono, Sofwan, Aloeth Pathi

RESENSI BUKU




LANTAI-LANTAI KOTA
Karya  KH. Muhammad Zuhri

Katagori          : Buku
Jenis                : Agama & Kepercayaan
Penulis            : KH. Muhammad Zuhri


Muhammad Zuhri, dalam karya tulisnya yang terakhir berjudul “Lantai-lantai Kota : Mengasah Kepekaan Nurani dengan Kisah Sehari-hari”. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2011 oleh Penerbit Zaman.
Buku ini merupakan Himpunan Hikmah, kumpulan tulisan yang menceritakan tokoh Ubaidillah yang berhadapan dengan kehidupan kota dan persoalan-persoalan kekiniannya, ada 13 judul yang menceritakan tentang perjalanan Ubaid di kota. Sedangkan 65 judul tentang tokoh Dillah, Ustad Desa yang selalu memberi pencerahan dan solusi-solusi yang ditawarkan kepada muridnya, kadang bisa dipahami, terkadang juga malah membikin muridnya tambah bingung. Namun hikmah yang dikemas dalam bentuk anekdot, maupun dialog antara Ustad dengan muridnya dapat memberi khazanah bagi pembacanya.
Membaca buku ini, kita akan merasakan bahwa persoalan-persoalan ini memang ada disekitar kita, dengan penuturan Ubaidillah seorang Urban yang pertama kali “Menjamah Lantai Kota”, dengan disuguhi perkembangan tehnologi dan kemajuan yang modern. Ia mencoba memahami perkembangan itu dengan pengetahuan yang diperolehnya selama ini dari desa. Ia pontang-panting ketika harus memasuki “Restoran Metropolitan” yang beragam warna persoalan perkotaan yang komplek, berbeda dengan persoalan di desa. Di kota harus berjuang untuk bertahan hidup, mencari pekerjaan yang  halal, sulitnya mencari Lowongan pekerjaan, dan adanya sifat konsumtif yang berlebihan dari sebagian masyarakat kota akibat Sihir-sihir Masa Kini.
Ubaid bertemu dengan Tukang Loak yang dianggap sebagai guru, karena perilakunya dapat dipahami sebagai ilmu yang harus dipelajari oleh Ubaid, seakan disadarkan bahwa setiap persoalan kehidupan yang dialami sebagian masyarakat kota tentulah ada jawabannya. Terkadang kita lengah dan lupa pada jawaban-jawaban sesungguhnya, malah lebih percaya pada bisikan atau ajakan manis yang justru semakin menjauhkan kita pada pencerahan.
Tokoh kedua bernama Dillah, Ustad desa yang selalu beda pendapat dengan muridnya maupun padangan umum masyarakat desa, namun pada akhirnya ada pencerahan pada anekdot serta dialog-dialognya. Seperti Dialog Dillah dengan Pedagang Tua, yang pada akhirnya Dillah bertanya tentang Siapa Sosok Pedagang Tua itu sebenarnya, karena Dillah mendapat pencerahan. Di lain cerita Dillah terayun jauh ke masa silam tentang kerinduannya pada Ladang Tebu depan rumahnya, terbersit suara dari balik keheningan.
Bila purnama memandang cahaya
Tiada henti si lemah mengusung nasibnya
Di tingkah seruling sendu seniman desa
Semua cerita tentang Ustad Dillah ini ditulis Pak Muh di desa Sekarjalak, (desa dimana penulis selalu mengadakan pengajian selikuran dirumahnya setiap tanggal 21.)
Buku ini begitu mengesankan karena banyak hikmah yang bisa dipetik, ada pencerahan yang terkandung di dalam cerita kedua tokoh Ubaidillah dan Dillah (karena keduanya mempunyai kemiripan karakter, bisa jadi kedua tokoh itu sebenarnya satu dengan nama Dillah ketika masih di Desa sedangkan Ubaidillah adalah ketika Dillah merantau ke kota. Namun bisa jadi itu benar dua tokoh Dillah dan Ubaidillah.)
Buku ini juga dilengkapi dengan Lampiran Wawasan Keagamaan, yang berisi tiga judul ; Sekilas Tentang manusia dan semestanya, Titik Balik Perjalanan Umat Manusia, Dewa Ruci (Naskah yang ditulis Pak Muh dengan rasa cinta pada Generasi Penerus Citra K.H. Ahmad Mutamakkin). Buku ini ditutup dengan artikel wawancara Pak Muh di sebuah Media Massa 1994 oleh Masruri. Lengkaplah sudah buku ini,  bukan hanya sekedar karya sastra atau bacaan di waktu luang. Namun bisa dijadikan bahan renungan bagi pembaca untuk dapat  mengambil dan memetik mutiara-mutira hikmah.     

- Aloeth Pathi.  ( Resensi buku ini pernah dimuat dalam Bulletin Perahu Sastra)


LANGIT-LANGIT DESA
Karya : KH. Muhammad Zuhri


                                                                  Katagori          : Buku
                                                                  Jenis                : Agama dan Kepercayaan
                                                                  Penulis             : K.H. Muhammad Zuhri

Pak Muh, panggilan akrab dari KH. Muhammad Zuhri (almarhum), adalah seorang rohaniawan dari desa yang selalu mengadakan pengajian rutinan di rumahnya. Beberapa tulisannya telah diterbitkan. Salah satunya buku berjudul “Langit-Langit Desa : Himpunan Hikmah Dari Sekarjalak. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1993, kemudian diterbitkan lagi tahun 2005 oleh Yayasan Barzakh. Pada cetakan ketiga di tahun 2008 oleh Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Buku ini berisi Himpunan Hikmah Perjalanan Hidup dari Desa Sekarjalak. Sebuah  Desa kecil di kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Desa dimana Pak Muh dulu pernah tinggal. Di tengah kesibukannya sebagai rohaniawan yang selalu memberi wejangan maupun petuah bagi murid-muridnya. Terkadang Beliau juga tak sungkan untuk mendiskusikan dengan murid-muridnya. Banyak solusi dalam menghadapi persoalan hidup yang bisa didapatkan. Beliau sempatkan mencatat beberapa tulisannya, biasanya sehabis mengadakan selikuran (pengajian yang diselenggarakan tiap bulan sekali pada tanggal 21).
Buku ini mampu memberikan sinar pencerahan serta hikmah yang dapat dipetik pembaca. Seperti kisah seorang zahid yang mendapatkan ilham untuk melakukan puasa telanjang berjubah janggut, untuk menetralisir keseimbangan sejarah, seperti yang pernah dilakukan oleh Ratu Kalinyamat yang harus bertapa telanjang berbusana rambut. Untuk membalas dendam kematian suaminya. Hal ini dimaksudkan untuk menghapus hitamnya dendam masa lampau yang membebani anak keturunannya.
Pak Muh, juga menulis  beberapa tulisan dengan suasana dan semangat dzikrullah. Misalnya tentang seorang murid yang mencoba mengamalkan dzikrullah, Namun belum merasa ada perubahan maka sang zahid berujar, “ kalau engkau sinantiasa ingat akan samudra hatimu akan menganggap kecil terhadap kolam air yang engkau memiliki” kata-kata sederhana yang memiliki perenungan yang sangat dalam.
Selanjutnya seorang ulama yang bertamu ke rumah Zahid yang sedang memberikan ceramah kepada murid-muridnya, namun ulama itu mendominasi dengan menjawab semua pertanyaan murid-muridnya Zahid, setelah ulama itu pulang baru murid-muridnya bertanya “siapa itu ya guru?” “dia adalah ulama yang sangat diagungkan di wilayah ini”. Beberapa murid saling berpandang dan bergumam “Hmm ada apa disinggasananya sehingga beliau sangat betah berkhutbah di mimbar orang lain”.
Buku ini berisi 144 hikmah, diawali dengan Hikmah Berjanggut yang Telanjang berjubah Janggut, yang kemudian diakhiri. Dengan wawancara seorang wartawan dengan seorang guru spritual tentang hikmah Rahasia Mukzizat.
Sebuah buku sastra yang di tulis Pak Muh sangat mengesankan walaupun banyak terdapat maksud yang sulid dicerna dan kadang menghubungkan namun sasaran melewati ruang renung. Maka akan dapat memetik hikmah yang dikandungnya.      

 Aloeth Pathi- (Resensi buku ini pernah dimuat Bulletin Gandrung Sastra # 1)

Buku Buletin Perahu Sastra;
Buku Gandrung Sastra #1;