Seorang perempuan mengenakan kain batik dan berkerudung hijau
melenggak-lenggok, sesekali menembang lagu Jawa dan membaca puisi
berjudul Mengkaji Bengawan dari buku Solo dalam Puisi di Teater Arena,
Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, Sabtu (22/02) malam. Ia bernama
Nurni Chaniago, penari, penulis, sekaligus pengajar Seni Budaya di salah
satu SMP di Klaten. Selain Nurni, sebelas penyair lainnya juga
membacakan puisi yang terhimpun dalam buku yang sama.
Acara peluncuran buku Solo dalam Puisi
ditandai oleh sambutan dari salah seorang kurator, Fanny Chotimah.
“Puisi yang terpilih merupakan puisi yang bertema Solo, sesuai tema buku
antologi tersebut. Sedangkan pertimbangan lain selain alasan estetik
puisi ialah terpotretnya penanda-penanda kota semisal Bengawan Solo,
Jalan Slamet Riyadi, Museum Radya Pustaka, Stasiun Solo Balapan, Kampung
Batik, Hik/Wedangan, Pasar Klewer, Lokananta, Gladak, Alun-alun Kota
dan ruang-ruang lain ataupun kuliner yang menjadi ciri khas kota Solo”,
paparnya. Begitu juga puisi yang bergerak lebih jauh membongkar sejarah
kota yang pernah terbakar dan berdarah. Dengan adanya puisi-puisi
tersebut diharapkan kita dapat melacak apa yang telah hilang dan yang
masih ada dari kota Solo.
“Kami tak menyangka, ternyata antusiasme kawan-kawan begitu baik.
Total puisi yang terkumpul ada 300, dari 105 penyair. Namun karena dana
yang terbatas, maka puisi tersebut tidak kami muat semua, dipilih
beberapa, sisanya akan dialihkan untuk dimuat di buletin Pawon
edisi-edisi berikutnya”, Yudhi Herwibowo menjelaskan hal ini saat
pembukaan festival. Setelah melalui tahap kurasi, akhirnya terpilih 85
penyair dan 101 puisi, bersanding dengan puisi-puisi penyair sebelumnya
yang pernah menulis tentang Solo seperti Sutan Takdir Alisjahbana,
Rendra, Armaja, Hartojo Andangdjaja, Wiji Tukhul, Afrizal Malna, dan
lain-lain.
Buku antologi Solo dalam Puisi merupakan buku kedua yang lahir
setelah antologi kumpulan cerpen berjudul Lamaran Sri (2010), yang telah
lebih dulu mengekalkan kisah persentuhan para penulis dengan kota Solo.
Buku puisi yang diterbitkan oleh Buletin Sastra Pawon tersebut
merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Sastra Solo pada tanggal
22-23 Februari 2014, sekaligus sebagai perayaan Komunitas Sastra Pawon
yang menginjak usia 7 tahun.
Penyair pertama yang menampilkan puisinya di TBJT malam itu Yudi Teha
dengan musikalisasi puisi menggunakan gitar. Yudi mampu membawa
penonton mengembara dalam imajinasi visual melalui puisi Dari Manahan
Sampai Pasar Gede. Saat satu bait selesai, lampu diredupkan dan
sekira165 penonton larut menikmati kisah tentang perjalanan dan kenangan
dari puisinya. Pada bait ketiga, penonton riuh bertepuk tangan saat
kata pramex diucapkan. Pramex adalah akronim dari Prambanan Express,
kereta api rute Yogya-Solo, yang sangat akrab dalam keseharian
masyarakat. Tampak Yudi hampir hapal seluruh lirik puisinya, sebab dia
sangat jarang melihat ke buku dari posisinya yang berdiri di samping
podium. Ia hanya memainkan gitar sambil sesekali memejamkan mata, seolah
menunjukkan kesan mendalam akan resapan kenangan yang diingatnya. Ia
menutup penampilannya dengan musikalisasi puisi Januari karya Seruni.
Sedangkan Seruni yang tampil setelahnya membacakan puisi karya Sofyan
RH. Zaid berjudul Mengenang Green Cap, 1949. Larik-larik puisinya
sebagai berikut: seperti pesta, perang sudah berakhir # airmata dan
darah/ berhenti mengalir/ senjata dilempar # berubah mawar/ tinggal
bercak dan jejak # kemudian menjadi sajak// di jalan pulang menuju rumah
# lelaki itu ditembak tepat di dada/ jatuh tersungkur ke tanah #
tercium aroma bunga/ anak dan istrinya menunggu # sampai akhirnya
menjadi batu// sementara di gading pengungsian # orang-orang dibantai
seperti hewan/ airmata dan darah kembali mengalir # perang tidak
sebenarnya berakhir/ langit gelap # bumi kalap// dan kita tahu dihianati
# lebih perih dari mati//2014.
Puisi yang dibacakan Seruni mengisahkan peristiwa setelah Serangan
Umum Solo. Pada tanggal 11 Agustus 1949 terjadi banyak pelanggaran
perjanjian gencatan senjata oleh pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap)
atau KST yang menewaskan banyak penduduk sipil. Situasi tersebut
mendorong terjadinya pertempuran apalagi pasukan TNI terutama pihak DEN
II TP Brigade XVII tidak mau menerima perjanjian ini karena hampir
seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangan umum tersebut
dan pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar. Inilah salah satu contoh
bahwa puisi bisa menjadi penanda peristiwa. Selain menuliskan imajinasi
visual, puisi juga menjadi narasi tentang sejarah sebuah kota.
Selain Yudi Teha, Seruni, dan Nurni Chaniago, penyair lain yang
tampil adalah Eko HM, Moch. Ghufron Cholid, Sigit Rais, Aloeth Pathi,
Catur Harimurti, Khairul Umam, Suyitno Ethex, Ardi Susanti, Stebby
Julionatan, dan Shenobi Mikael.
Sigit Rais yang berkolaborasi dengan rekannya, Arif, dalam puisinya
menceritakan tentang kuliner Solo. Penampilan keduanya cukup menarik
ketika pada salah satu bait, Sigit mengajak penonton bertepuk tangan dan
mendendangkan berulang-ulang: tengkleng… sate buntel…/ teh poci… wedang
ronde. Sementara Stebby Julionatan dan Shenobi Mikael bersama Komunitas
Sae Sanget Indonesia dari Probolinggo bercerita tentang berbagai tempat
di Solo melalui musikalisasi puisi diiringi gitar dan seruling yang
apik dan merdu.
Acara ditutup dengan penampilan Teater Sirat. Para mahasiswa di IAIN
Surakarta itu memadukan pembacaan puisi dan seni pantomim. Penampilan
mereka sangat menghibur dan membuat penonton tertawa dengan aksi
kocaknya. Sejumlah pemain lain yang tersebar di kursi penonton berteriak
membacakan puisi saat 3 pemain pantomim sedang beraksi. Namun para
pembaca puisi yang berbaur dengan penonton itu seolah dikendalikan oleh
sebuah remote control yang dipegang pemain pantomim. Remote kemudian
rusak, puisi-puisi mengumandang bersamaan dan lampu pun dinyalakan
sebagai penanda acara selesai.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar